Posted in

Corruption Eradication Commission – Wikipedia

## Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Sejarah, Perjuangan, dan Kontroversi Lembaga Antirasuah Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga pemerintah Indonesia yang dibentuk untuk mencegah dan memberantas korupsi. Perjuangan melawan korupsi di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak era 1950-an, namun upaya-upaya tersebut belumlah sistematis dan terstruktur. Di awal Orde Baru, tepatnya pada akhir tahun 1960-an, kritikan tajam terhadap maraknya korupsi mendorong Presiden Soeharto untuk membentuk Komisi Empat pada tahun 1970. Laporan komisi ini secara gamblang menyebut korupsi sebagai masalah yang “merajalela,” namun sayangnya, rekomendasi tindakan mendesak yang diajukan tak pernah ditindaklanjuti. Hingga tahun 1999, baru disahkan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kepolisian dan Kejaksaan untuk menyelidiki kasus korupsi.

Lahirnya KPK pada tahun 2003 di era kepresidenan Megawati Soekarnoputri, merupakan buah dari keprihatinan mendalam terhadap tingginya angka korupsi di era pasca-Soeharto. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang disahkan setahun sebelumnya, menjadi payung hukum bagi pembentukan lembaga ini. Sejak saat itu, KPK menunjukkan taringnya dengan mengungkap dan menuntut berbagai kasus korupsi di berbagai instansi pemerintah, bahkan hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Saat ini, KPK dipimpin oleh Nawawi Pomolango (sementara).

Visi KPK adalah mewujudkan Indonesia bebas korupsi. Tugasnya meliputi penyelidikan dan penuntutan kasus korupsi, serta pengawasan tata kelola negara. Lembaga ini memiliki kewenangan yang cukup luas, antara lain meminta keterangan dan laporan terkait investigasi, melakukan penyadapan, menerbitkan larangan bepergian, meminta informasi keuangan tersangka, memblokir transaksi keuangan, dan meminta bantuan aparat penegak hukum lainnya. KPK juga berwenang menahan tersangka, termasuk figur-figur terkenal, dan seringkali melakukannya.

Awalnya, KPK berdiri independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Namun, pada tahun 2019, DPR mengesahkan revisi Undang-Undang KPK yang secara signifikan memangkas kewenangannya dan mengubah status pegawainya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Langkah ini praktis mengakhiri kemandirian KPK.

Aktivitas KPK senantiasa menjadi sumber kontroversi di Indonesia. Komisi ini dikenal teliti namun juga agresif dalam memburu kasus-kasus besar. Seorang pengamat asing mencatat bahwa KPK telah “menghadapi secara langsung korupsi endemik yang merupakan warisan kekuasaan kleptokrasi Presiden Soeharto selama 32 tahun. Sejak beroperasi pada akhir 2003, komisi ini telah menyelidiki, menuntut, dan mencapai tingkat keberhasilan 100 persen dalam 86 kasus suap dan korupsi yang terkait dengan pengadaan dan anggaran pemerintah.” Salah satu contohnya adalah penetapan saudara kandung Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng sebagai tersangka dalam kasus korupsi jutaan dolar pada tahun 2012, yang menjadi skandal terbaru yang menimpa partai pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang Pemilu Presiden 2014. Andi Mallarangeng sendiri menjadi menteri pertama yang mengundurkan diri karena tuduhan korupsi sejak KPK beroperasi.

Kendati demikian, KPK juga menghadapi berbagai kendala. Pada tahun 2008, Budiono Prakoso, pejabat divisi pendidikan publik KPK, menyatakan bahwa dari sekitar 16.200 laporan kasus korupsi yang diterima, hanya sebagian kecil yang dapat ditangani karena keterbatasan SDM dan sumber daya. Ia menambahkan bahwa “masalah utamanya adalah kemauan politik pemerintah di tingkat daerah dan nasional. Kemauan politik masih rendah. Semuanya masih sebatas wacana.”

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) kerap mendesak KPK untuk lebih agresif. Misalnya, Putu Wirata Dwikora dari Bali Corruption Watch (BCW) meminta KPK untuk secara langsung menyelidiki kasus-kasus korupsi di Bali, bukan hanya menyerahkannya ke Kejaksaan setempat. Putu berpendapat bahwa keterlibatan langsung KPK akan menciptakan efek jera yang lebih besar.

Di sisi lain, keberhasilan KPK dalam menggunakan alat-alat kontroversial seperti penyadapan tanpa surat izin, dan fokusnya pada target-target tingkat tinggi seperti “pengusaha, birokrat, bankir, gubernur, diplomat, anggota parlemen, jaksa, pejabat polisi, dan anggota masyarakat Indonesia lainnya yang sebelumnya tak tersentuh,” telah menimbulkan reaksi balik. Ada upaya-upaya yang dilaporkan untuk melemahkan KPK di parlemen.

Sepanjang sejarahnya, KPK menghadapi berbagai upaya kontroversial dari Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga pemerintah lainnya untuk melemahkan atau mengganggu kinerjanya. Pimpinan dan tokoh-tokoh penting KPK berulang kali ditangkap atas tuduhan kasus pidana yang dipertanyakan atau menjadi sasaran serangan pribadi. Perseteruan “cicak vs buaya” antara KPK dan Kepolisian menjadi simbol dari ketegangan antara kedua lembaga ini, terutama setelah sejumlah penyelidikan KPK menargetkan dugaan korupsi di tingkat tinggi kepolisian. Penahanan Irjen Pol. Djoko Susilo pada awal Desember 2012 misalnya, memicu ketegangan yang kemudian mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peristiwa ini juga melahirkan istilah populer “cicak vs buaya” yang mencerminkan dukungan publik terhadap KPK.

Kasus penangkapan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto pada September 2009 atas tuduhan pemerasan dan suap, dan kemudian dibebaskan, juga memperlihatkan betapa rawannya KPK terhadap tekanan politik. Demikian pula penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto, yang dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK. Penangkapan Bambang Widjojanto pada Januari 2015, misalnya, memicu gelombang dukungan publik yang luar biasa terhadap KPK, ditandai dengan tagar #SaveKPK yang menjadi trending topik dunia di Twitter.

Revisi UU KPK pada September 2019 memicu demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia. Mereka menilai revisi tersebut akan melemahkan KPK. Revisi UU ini antara lain mengurangi kewenangan KPK dalam penyelidikan dan penuntutan, menambahkan Dewan Pengawas yang harus menyetujui penyadapan, dan mewajibkan seluruh pegawai KPK mengikuti tes wawasan kebangsaan yang menyebabkan pemecatan sejumlah pegawai, termasuk Novel Baswedan.

Meskipun sumber daya KPK telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, lembaga ini masih menghadapi kendala anggaran dan jumlah staf yang terbatas. Perjuangan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia masih terus berlanjut, di tengah berbagai tantangan dan tekanan yang dihadapinya.

**(Catatan: Nomor-nomor referensi yang terdapat dalam teks asli telah dihilangkan karena tidak tersedia di sini. Informasi tersebut dapat ditambahkan kembali jika sumber referensi tersedia.)**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *